Informasi Penting Lho

Bagi kawan-kawan Mahasiswa dimanapun berada, yang perlu makalah seputar PAI, kesini aja....sok asal habis ngambil komentarnya jangan lupa ya, biar terus ada kemajuan....OK, siip

Minggu, 12 Juni 2011

Makalah Ilmu Kalam


Makalah
BERBAGAI PERSOALAN DALAM ILMU KALAM

Disusun sebagai salah satu tugas mata Kuliah Materi PAI II
Dosen : Drs. H. Omo Karsono, M.M.









Disusun oleh :
AHMAD HUMAEDI
Smester VIA




SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
(STAI PUI) MAJALENGKA
2011

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah yang telah memberi kekuatan kepada kita untuk selalu taat beribadah kepada-Nya.
Shalawat serta salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada Pemimpin ummat seluruh dunia, Rasulullah SAW. Semoga syafa’atnya sampai kepada kita semua selaku ummat akhir zaman.
Dalam kesempatan ini Alhamdulillah Penulis dapat menyelesaikan makalah sebagai tugas mata kuliah Materi PAI yang berjudul “PERDEBATAN DALAM ILMU KALAM”. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua orang yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini.
Akhir kata, semoga apa yang ada dalam isi makalah ini bisa bermanfaat khususnya bagi penulis umumnya bagi semua para pembaca.

Majalengka, Juni 2011


Penulis














DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I
PENDAHULUAN

A.     
Latar Belakang

B.      
Metode Penelitian

BAB II
PEMBAHASAN

A.     
Konsep Iman

B.      
Kebebasan dan Keterikatan Manusia

C.      
Keadilan Tuhan

D.     
Perbuatan Tuhan

E.      
Pengiriman Para Rosul

F.       
Akal dan Wahyu

G.     
Nasehat Tuhan

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA










BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Munculnya ilmu kalam menurut Harun Nasution, dipicu oleh persoalan politik yang menyangkut peristiwa pembunuhan Utsman bin Affan yang berbuntut pada penolakan Muawiyah atas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, dan persoalan kalam yang pertama kali muncul adalah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir. Dalam arti siapa yang telah keluar dari Islam dan siapa yang masih tetap Islam.
Dalam sejarah Islam di terangkan bahwa perpecahan golongan itu tampak memuncak setelah terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, sebagaimana dikatakan oleh Hudhari Bik, Hal itu menjadi sebab perpecahan pendapat kaum muslimin, yaitu satu golongan yang dendam atas Utsman bin Affan dan mereka yang adalah orang-orang yang membai’at Ali bin Abu Thalib r.a, dan satu golongan yang dendam atas terbunuhnya Utsman dan mereka adalah golongan yang mengikuti Muawiyah bin Abu Sofyan r.a.
Setelah terbunuhnya khalifah Ali bin Abi Thalib r.a, Islam telah terpecah menjadi tiga golongan yakni golongan khawarij adalah suatu sekte/kelompok/aliran pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar meninggalkan barisan karena ketidak sepakatan terhadap putusan Ali yang menerima arbitrase (tahkim) dalam perang Siffin pada tahun 37H/648 M, dengan kelompok bughot (pemberontak) Muawiyah bin Abi Sufyan perihal persengketaan khilafah.
Golongan Murji`ah adalah orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya masing-masing ke hari kiamat kelak. Golongan ketiga adalah syi`ah yaitu orang-orang yang tetap mencintai Ali dan keluarganya. Jika melihat dari sejarah tersebut, awal dari ilmu kalam adalah karena adanya perbedaan atau perselisihan pendapat yang kemudian menimbulkan sebuah argumentasi-argumentasi yang di perdebatkan untuk membela masing-masing golongan dengan dasar yang bersumber dari Al-Qur`an.
Harun Nasution mengatakan, Khawarij memandang bahwa Ali, Muawiyah, Amr ibn Al-As, Abu Musa Al-Asy`ari dan lain-lain menerima abitrase adalah kafir, karena Al-Qur`an mengatakan :
Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (Q.S Al-Maidah – 44).

B.     Metode Penelitian
Metode yang kami pakai adalah dengan Studi Pustaka, dengan mencari referensi yang menunjang, dan mencari di Dunia maya tentang permasalahan yang actual tentang makalah yang akan dibahas.















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Konsep iman
Menurut bahasa iman berarti pembenaran dalam hati. Sedangkan menurut istilah, iman adalah membenarkan dalam hati, mengikrarkan dengan lisan dan mengamalkan dengan anggota badan.
Sedang iman menurut pandangan para ulama terdahulu, diantaranya adalah pendapat Imam Al-Baghawi R.A., beliau berkata :”Para sahabat, Tabi’in, dan para ulama sunnah mereka bersepakat bahwa amal shalih adalah bagian dari iman. Mereka berkata bahwasannya iman terdiri dari ucapan dan perbuatan serta keyakinan. Iman bertambah karena ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan.
Imam Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Sallam R.A. berkata:”Pandangan ahlus sunnah yang kami ketahui adalah apa yang disampaikan oleh para ulama kita yang kami sebutkan di kitab-kitab kami, yakni bahwa iman itu meliputi kumpulan niat (keyakinan), ucapan , dan amal perbuatan. Iman itu bertingkat-tingkat, sebagian berada di atas sebagian yang lain.”
Imam Muhammad bin al-Husain al-Ajuri R.A.,berkata :”Ketahuilah , semoga Allah SWT memberi rahmat kepada kami dan anda, bahwasannya sesuatu yang diyakini oleh para ulam umat Islam adalah iman itu wajib bagi semua mahluq, yaitu membenarkan dengan hati, mengakui dengan lisan, dan mengamalkan dengan anggota badan. Ketahuilah, ma’rifah (mengenal Allah) dengan hati dan membenarkannya tidak cukup, kecuali jika disertai dengan pengakuan lisan dan keyakinan hati; dan ucapan tidak sah , kecuali apabila dibuktikan dengan amal perbuatan. Bila ketiganya (keyakinan hati, ucapan lisan dan amal anggota badan) terpenuhi, maka ia disebut Mukmin. Kitab, Sunnah, dan ucapan para ulama salaf R.A., telah menunjukkan hal itu.”
¨bÎ) šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# (#qãB$s%r&ur no4qn=¢Á9$# (#âqs?#uäur no4qŸ2¨9$# óOßgs9 öNèdãô_r& yZÏã öNÎgÎn/u Ÿwur ì$öqyz öNÎgøŠn=tæ Ÿwur öNèd šcqçRtóstƒ ÇËÐÐÈ  

Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Al-Baqarah: 277)
B.     Kebebasan dan keterikatan manusia
1.        Golongan Asy’ariah berpendapat bahwa manusia dalam berbuat mempunyai keterbatasan. Perbuatan manusia dibatasi oleh perbuatan Tuhan. Daya untuk berbuat adalah daya Tuhan bukan daya manusia. Teori al-Kasb dan Harkah al-Idtirar yang dikemukakan oleh Asy’ariah memberi pengertian bahwa manusia merupakan tempat untuk berlakunya perbutan Tuhan. Pendapat golongan Asy’ariah ini berdasarkan firman Tuhan dalam surat As-Safaat : 96. dan surat Al-Insan : 30.
2.        Golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa manusia didalam berbuat mempunyai kebebasan. Perbuatan yang dilakukan manusia adalah perbuatan manusia sendiri bukan perbuatan Tuhan. Daya Tuhan tidak mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatan manusia. Kemauan dan daya untuk mewujudkan perbuatan manusia adalah kemauan dan daya manusia sendiri, kemauan dan daya Tuhan tidak turut campur didalamnya. Manusia akan memperoleh balasan dari perbuatannya, sebagaimana firman Tuhan dalam surat As-Sajadah : 17 dan surat Al-Kahfi : 29.
3.        Golongan Maturidiah Bukhara berpendapat bahwa, manusia dalam berbuat mempunyai kebebasan, dalam pemakaian daya yang diciptakan Tuhan pada diri manusia, manusia tidak mempunyai daya untuk menciptakan. Perbuatan baik yang diperbuat manusia adalah perbuatan manusia sesuai dengan Ridha Tuhan, dan perbuatan buruk yang diperbuat manusia adalah perbuatan manusia tetapi tidak sesuai dengan keridhaan Tuhan.
4.        Golongan Maturidiah Samarkand berpendapat mengenai manusia dalam berbuat, sejalan dengan pendapat Maturidiah Bukhara. Perbuatan manusia adalah perbuatan dalam arti yang sebenarnya bukan dalam arti kiasan. Manusia diberi upah oleh Tuhan atas dasar pemakaian yang benar dari daya yang telah diciptakan Tuhan pada diri manusia. Demikaian juga manusia diberi hukuman atas dasar kesalahan pemakauan daya yang telah diciptakan Tuhan pada diri manusia.

C.    Keadilan tuhan
Keadilan secara leksikal berarti sama dan menyamakan. Dan menurut pandangan umum, keadilan yaitu menjaga hak-hak orang lain. Keadilan merupakan lawan kezaliman yang berarti merampas hak-hak orang lain. Atas dasar ini, definisi keadilan  ialah memberikan hak kepada yang berhak mene-rimanya. Maka itu, pertama kita harus mempunyai gambaran adanya pihak yang mempunyai hak sehingga dapat dikatakan bahwa menjaga haknya merupakan keadilan dan merampas haknya adalah kezaliman.
Akan tetapi, terkadang pengertian adil ini lebih diperluas lagi dan digunakan dengan makna: menempatkan sesuatu pada tempatnya atau mengerjakan segala sesuatu dengan baik. Berdasarkan definisi ini,  keadilan sinonim dengan bijakasana. Maka, perbuatan yang adil yaitu perbuatan yang bijak. Adapun bagaimana hak orang yang berhak dan posisi semestinya setiap sesuatu itu dapat ditentukan, pembahasan persoalan ini sangat luas dan merupakan bagian yang penting dalam pembahasan Filsafat Etika dan Filsafat Hukum yang tidak mungkin dapat kita bahas pada kesempatan ini.
Yang perlu kami tekankan di sini adalah bahwa setiap orang yang berakal pasti mengetahui bahwa apabila seseorang itu merampas sepotong roti dari seorang anak yatim tanpa alasan yang jelas, atau menumpahkan darah orang lain yang tidak bersalah, berarti ia telah melakukan kezaliman dan melakukan tindakan yang buruk.
Demikian pula sebaliknya, apabila seseorang mengambil kembali sepotong roti yang telah diambil dari seorang pencuri, kemudian mengembalikannya kepada anak yatim atau ia memberikan sanksi atas pembunuh yang berbuat jahat sesuai dengan kejahatannya, berarti ia telah berbuat baik dan benar.
Sesungguhnya penilaian terhadap kebaikan dan keburukan, keadilan dan kezaliman ini tidak bergantung kepada perintah dan larangan Allah, sebab penilaian ini dapat dipahami sekalipun oleh orang yang tidak beriman kepada wujud Allah Swt. Adapun apa sebenarnya dasar hukum tersebut, dan kekuatan indra apa yang dapat mengetahui kebaikan dan keburukan perbuatan, adalah bagian masalah Filsafat.
Dengan demikian, keadilan dapat didekatkan dengan dua pengertian: pengertian khusus dan pengertian umum. Yang pertama ialah menjaga hak-hak orang lain, dan yang kedua adalah keluarnya suatu perbuatan dengan cara hikmah di mana menjaga hak-hak orang lain termasuk bagian dari mishdaq-nya (instanta). Berdasarkan hal itu, maka adil bukan berarti memberikan secara sama kepada seluruh umat manusia atau di antara segala sesuatu. Seorang guru yang adil bukanlah yang memiliki sikap yang sama terhadap seluruh anak didiknya, sehingga ia menyamakan seluruhnya dalam hal memberikan teguran dan pujian baik kepada anak didiknya yang rajin maupun yang malas. Seorang hakim yang adil bukanlah yang membagi harta yang dipertikaikan itu secara sama antara orang yang bertikai. Seorang guru yang adil adalah yang memuji setiap anak didiknya dan juga memberikan peringatan kepada mereka sesuai dengan hak-haknya. Hakim yang adil adalah hakim yang mengembalikan harta yang dipertikaikan kepada yang berhak. 
Demikian pula, sesuai dengan Hikmah dan Keadilan Ilahi, Allah Swt. tidak menciptakan seluruh makhluk-Nya dalam bentuk yang sama, misalnya Allah menciptakan manusia bertanduk atau bersayap dan sebagainya. Akan tetapi Dia menciptakan alam semesta dalam bentuk yang terukur sehingga dapat terealisasi kebaikan dan kesempurnaan. Allah Swt. menciptakan segenap makhluk-Nya dalam bentuk yang serasi antara bagian-bagiannya dengan tujuannya yang terakhir.
Demikian pula sesuai dengan Hikmah dan Keadilan Ilahi, Allah membebankan tugas (taklif) kepada setiap manusia sesuai dengan kemampuan masing-masing. Dan Dia pun memutuskan suatu hukum sesuai dengan kemampuan dan kehendak bebas mereka, serta memberikan balasan, baik berupa pahala atau siksa yang setimpal dengan tiap-tiap perbuatan mereka. Allah Swt. berfirman:
Ÿw ß#Ïk=s3ムª!$# $²¡øÿtR žwÎ) $ygyèóãr 4
Artinya : ”Sesungguhnya Allah  tidak akan membebani manusia sesuai dengan kemampuannya.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 286)
šÅÓè%ur OßgoY÷t/ ÅÝó¡É)ø9$$Î/ 4 öNèdur Ÿw tbqßJn=ôàムÇÎÍÈ
Artinya : “Dan akan diputuskan kepada mereka itu suatu tugas hukum dengan keadilan dan tidak dizalimi sedikit pun.” (Qs. Yunus [10]: 54)
tPöquø9$$sù Ÿw ãNn=ôàè? Ó§øÿtR $\«øx© Ÿwur šc÷rtøgéB žwÎ) $tB óOçFZà2 tbqè=yJ÷ès? ÇÎÍÈ
Artinya : “Maka pada hari kiamat tidak dizalimi seorang pun dan tidak diberikan balasan terhadap apa yang mereka lakukan melainkan sesuai dengan apa yang telah mereka perbuat.” (Qs.Yasin [33]:54)

D.    Perbuatan Tuhan
Persoalan kalam lainnya yang menjadi bahan perdebatan diantara aliran-aliran kalam adalah masalah perbuatan tuhan dan perbuatan manusia. Masalah ini muncul sebagai buntut dari perdebatan ulama kalam mengenai iman.
Ketika sibuk menyoroti siapa yang masih di anggap beriman dan siapa yang kafir diantara pelaku tahkim, para ulama kalam kemudian mencari jawaban atas pertanyaan siapa sebenarnya yang mengeluarkan perbuatan manusia, apakah Allah sendiri ? atau manusia sendiri ? atau kerja sama antara keduanya.
Masalah ini kemudian memunculkan Aliran Fatalis (predestination) yang  diwakili oleh Qadariah dan Freewill yang diwakili Qadariah dan Mu’tazilah, sedangkan aliran asy’ariah dan maturidiyah mengambil sikap pertengahan. Persoalan ini kemudian meluas dengan mempermasalahkan apakah Tuhan  memiliki kewajiban-kewajiban tertentu atau tidak ? apakah perbuatan itu tidak terbatas pada hal-hal yang baik saja,

E.     Pengiriman Para Rasul
Tauhid Merupakan Tujuan Diutusnya Para Rasul Sebelumnya manusia adalah umat yang satu, berasal dari Nabi Adam ‘alaihissalam. Mereka beriman dan menyembah hanya kepada Allah saja. Kemudian datanglah syaitan menggoda manusia untuk mengada-adakan bid’ah dalam agama mereka. Bid’ah-bid’ah kecil yang semula dianggap remah saat generasi berganti generasi, bid’ahnya pun semakin menjadi. Hingga pada akhirnya menggelincirkan mereka kepada bid’ah yang sangat besar, yaitu kemusyrikan.
Iblis terbilang cukup ‘sabar’ dalam melancarkan aksinya selama sepuluh abad untuk menggelincirkan keturunan Adam ‘alaihissalam kepada kemusyrikan –sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu (lihat “Kisah Para Nabi”, Ibnu Katsir)– Hingga tatkala seluruhnya tenggelam dalam kemusyrikan, Allah subhanahu wa ta’ala mengutus Nuh ‘alaihi salam. Demikianlah, setiap kali kemusyrikan merajalela pada suatu kaum, maka Allah mengutus rasul-Nya untuk mengembalikan mereka kepada tauhid dan menjauhi syirik.

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thoghut (sembahan selain Allah).” (QS. An Nahl: 36)
Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus, Allah subhanahu wa ta’ala tidak lagi mengutus rasul. Hal ini bukanlah dalil bahwa kemusyrikan tidak akan pernah terjadi lagi seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagaimana dikatakan beberapa orang. Akan tetapi Allah subhanahu wa ta’ala menjamin bahwa akan senantiasa ada segolongan dari umat ini yang berada di atas tauhid dan mendakwahkannya, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim.
Tauhid Adalah Kewajiban Pertama Bagi Manusia Dewasa dan Berakal. Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa mendahulukan perintah tauhid dan menjauhi syirik, sebelum memerintahkan yang lainnya dalam setiap firmannya di Al Quran.
F.     Akal dan wahyu
Dalam sejarah pemikiran Islam persoalan hubungan antara akal dan wahyu merupakan issue yang selalu hangat diperd ebatkan oleh mutakallimun dan filosof. Issue ini menjadi penting karena ia memiliki kaitan dengan argumentasi -argumentasi mereka dalam pembahasan tentang konsep Tuhan, konsep Ilmu Ilmu, konsep etika dan lain sebagainya. ( Untuk diskusi tentang etika George F Hourani, Reason and Tradition in Islamic Ethic, Cambridge: Cambridge University Press, 1985) Mereka berorientasi pada usaha untuk membuktikan kesesuaian atau hubungan antara akal dan wahyu. Dalam konteks ini konsep akal, wahyu dan ta’wil menjadi topik yang penting. Filosof Muslim terpenting yang berusaha membuktikan hubungan antara akal dan wahyu adalah Ibn Rushd (520 H/ 1126 A-595/ 1198) penulis buku Fasl al-Maqal dan Ibn Taymiyyah 662/ 1263 – 728/1328 A.H. penulis buku Dar’ Ta’arud al-‘aql wa al-naql (sebelumnya diberi judul muwafaqat sarih al-ma’qul ‘ala sahih al-manqul).
Yang pertama mencoba menjelaskan “hubungan” sedang yang kedua berusaha menghindarkan pertentangan atau menjelaskan “kesesuaian”. Akan tetapi Arberry menganggap karya Ibn Rushd itu sebagai percobaan terakhir untuk membuktikan hubungan antara akal dan wahyu, sedangkan Ibn Taymiyyah digambarkan sebagai orang yang menghentikan percobaan ini. Sejatinya keduanya berasumsi sama bahwa akal dan wahyu tidak bertentangan, tapi karena situasi sosial dan latar belakang pemikiran mereka tidak sama kesimpulan yang mereka hasilkan berbeda . Ibn Rushd tidak saja dipengaruhi oleh pemikiran masyarakat yang beranggapan bahwa sains dan falsafah bertentangan dengan agama tapi juga oleh konflik-konflik yang terjadi antara ahli-ahli filsafat dan ilmu agama. Berbeda dari Ibn Rushd, perhatian Ibn Taymiyyah difokuskan pada pemahaman masyarakat tentang Islam yang dalam pandangannya telah dirusak oleh doktrin-doktrin sufism, teologi dan filsafat seperti yang nampak dalam amalan-amalan bid’ah di masyarakat. (Lihat Bello, Iysa A., Medieval Islamic Controversy Between Philosophy and Orthodoxy, Leiden, E.J.Brill,1989. Ibn Taymiyyah, “Haqiqat Madhhab al-Ittihadiyyah” dalam Majmu‘at al-Fatawa, Cairo, Matba ‘ah al-Hukumah, 1966).

G.    Nasehat Tuhan
Dalam pandangan para mutakallimun, nasehat tuhan berupa teguran yang berwujud pada sifat alal, karena kita bisa mengetahui tuhan dengan hijabnya. Namun perbedaan dalam masalah ini memang hanya sedikit.

























BAB III
KESIMPULAN
Beberapa permasalah pokok yang menjadi perdebatan para mutakallimuun terkadang tidak terpikirkan oleh ornag awam, sehingga Ilmu kalam tetaplah akan abadi sebagai Ilmu kalam itu sendiri. Adapun  permasalahan yang biasa diperdebatkan adalah :
1.      Konsep Iman, mengenai rukun Iman dan berbagai hal yang berkaitan dengannya.
2.      Kebebasan dan Keterikatan Manusia, mengenai batasan manusia sebagai makhluk, apakah perbuatannya terikat atau tidak, terjadi sebab akibat, atau seberapa campur tangan Tuhan dalam terjadinya suatu perbuatan
3.      Perbuatan Tuhan, mengenai dosa yang dikerjakan manusia, apakah ada campur tangan dari Tuhan atau murni kesalahan manusia itu sendiri.
4.      Pengiriman para rosul, mengenai tujuan diutusnya para rosul, nabi terakhir dan sifat-sifatnya.
5.      Akal dan Wahyu, mengenai berbagai hal yang terkait kesesuaian atau hubungan antara keduanya, apakah kedudukannya individual/mandiri atau saling berhubungan, dan
6.      Nasehat Tuhan










DAFTAR PUSTAKA
-          Al Atsari, Abdullah bin Abdul Hamid.2005. Panduan Aqidah Lengkap. Pustaka Ibnu Katsir. Bogor Arifin, Bey.1987. Mengenal Tuhan. PT. Bina Insan. Surabaya
-          Al hamd, Muhammad Bin Ibrahim.2005. Kupas Tuntas Masalah Taqdir. Pustaka Ibnu Katsir, Bogor.

1 komentar: