Makalah
DINAMIKA HUKUM ISLAM PADA MASA RASULULLAH
Disusun sebagai salah satu tugas mata Kuliah Ushul Fiqih
Disusun oleh :
AHMAD HUMAEDI
Smester V
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
(STAI PUI) MAJALENGKA
2010
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah yang telah memberi kekuatan kepada kita untuk selalu taat beribadah kepada-Nya.
Shalawat serta salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada Pemimpin ummat seluruh dunia, Rasulullah SAW. Semoga syafa’atnya sampai kepada kita semua selaku ummat akhir zaman.
Dalam kesempatan ini Alhamdulillah Penulis dapat menyelesaikan makalah sebagai tugas mata kuliah Ushul Fikih yang berjudul “DINAMIKA HUKUM ISLAM PADA MASA RASULULLAH”. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua orang yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini.
Akhir kata, semoga apa yang ada dalam isi makalah ini bisa bermanfaat khususnya bagi penulis umumnya bagi semua para pembaca.
Majalengka, November 2010
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. LATAR BELAKANG..............................................................
1
BAB II PEMBAHASAN 2
A. PENGERTIAN FARAIDH ..................................................... 2
B. ORANG-ORANG YANG BERHAK MENDAPATKAN WARISAN................................................................................
7
BAB III HAJB, HIRMAN DAN ASHABAH 14
A. HAJB DAN HIRMAN............................................................. 14
B. ASHABAH...............................................................................
15
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 18
A. KESIMPULAN......................................................................... 18
B. SARAN.............................................................. ...................... 18
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Islam merupakan agama yang diturunkan Allah di Negara Arab, pada bangsa yang sudah punya peradaban namun jauh menyimpang dari syariat yang dibawakan oleh nenek moyangnya yaitu Nabi Ibrahim as.
Berbagai pernyimpangan terjadi pada banyak aspek, mulai dari akidah, Ibadah maupun muamalah. Pada pertengahan abad ke 6 masehi, Rasulullah diutus untuk kembali meluruskan berbagai yang terjadi pada bangsa arab. Proses dari perubahan tersebut tidak bisa secara langsung karena sudah melekatnya peradaban jahiliyyah pad abangsa arab. Oleh karena itu, metode Rosulullah dalam berdakwah terbagi pada beberapa periode, yaitu periode Mekkah dan Madinah yang mempunyai karakter dakwah masing-masing. Begitupun dalam masalah hokum, Rosululloh menerapkan dan merubahnya secara bertahap mulai dari teknik toleransi, peringatan sampai yang terakhir larangan dan tindakan tegas.
Oleh karena itu kami akan sedikit membahas tentang dinamika hokum dalam dakwah masa Rosululloh.
BAB II
PEMBAHASAN
A. HUKUM ISLAM MASA RASULULLAH
Pada masa Rasulullah berlangsung hanya beberapa tahun saja yaitu tidak lebih dari 22 tahun beberapa bulan. Akan tetapi periode ini membawa pengaruh-pengaruh yang besar dan hasil-hasil yang gemilang. Periode ini terdiri dari dua fase yang berlainan , yaitu :
1. Fase Rasul berada di Mekah.
Yakni selama 12 tahun beberapa bulan, semenjak beliau diangkat sebagai Rasul sampai waktu hijrahnya. Pada fase ini kaum muslimin baru beberapa orang saja jumlahnya sedikit dan masih lemah, belum merupakan suatu umat dan belum mempunyai pemerintahan. Perhatian rasul pada fase ini diarahkan kepada penyebaran dakwah ketauhidan (meng-Esakan Allah) dan berusaha memalingkan umat manusia dari menyembah berhala dan patung, menjaga diri dari gangguan orang-orang yang sengaja menghalangi dakwah beliau, orang-orang yang memperdayakan orang-orang yang beriman kepada ajarannya. Juga Nabi mengajarkan larangan memakan daging hewan yang disembelih atas nama berhala, melihat undian nasib dengan anak panah, zina dan lain sebagainya. Justru itu ayat-ayat yang turun di mekkah khusus menyangkut bidang aqidah, akhlak, dan ibadah (suri tauladan) dari sejarah ummat yang dahulu.
2. Fase Rasul berada di Madinah.
Yakni selama kira-kira10 tahun, berjalan dari waktu hijrah beliau sampai wafatnya. Selama beliau berada di Madinah, operasional dakwahnya lebih lancar dibandingkan dengan di Mekkah yang ditandai dengan banyaknya orang-orang yang beriman. Oleh karena itu, ayat-ayat Al-Quran yang turun banyak mengandung hukum ‘amaliyah, baik yang berkenaan dengan hidup individual maupun masyarakat yang dapat dipastikan sangat memerlukan ketentuan hukum lembaga pengadilan. Islam telah terbina menjadi umat, dan telah merupakan satu pemerintahan, media-media dakwah telah berjalan lancar. Keadaan mendesak adanya tasyri’ dan undang-undang mengatur hubungan antar individu satu dengan yang lainnya, selaku umat yang berkembang serta mengatur hubungan-hubungan mereka dengan yang lain, baik di masa damai maupun perang. Untuk ini maka disyari’atkanlah di Madinah hukum-hukum perkawinan, perceraian, pewarisan, perjanjian hutang piutang, kepidanaan dan lain-lain.
B. WEWENANG DALAM MENETAPKAN HUKUM
Melihat situasi seperti ini, maka pembinaan dan pembentukan hukum langsung ditangani oleh Rasulullah SAW sendiri berdasarkan wahyu, maupun ijtihad (pendapat) beliau sendiri yang disebut hadits. Tapi walaupun demikian, beliau masih memberi kesempatan ijtihad kepada para sahabatnya, sekalipun wahyu masih ada dan masih hidup. Hal ini dikarenakan ada kejadian yang khusus untuk mengadakan hubungan dengan beliau sukar karena jauh ataupun waktunya sangat mendesak. Peristiwa pernah terjadi pada waktu Rasulullah SAW mengutus sahabatnya Mu’adz ibnu Jabal menjadi duta Islam (hakim) di Yaman. Dia direstui oleh Rasulullah SAW untuk mengambil inisiatif sendiri dalam menjatuhkan vonis suatu kasus hukum, andaikan pidananya tidak terdapat dalan Al-Quran dan Hadits.
Perlu diketahui, bahwa keputusan-keputusan dan fatwa-fatwa dari ijtihad para sahabat hanya bersifatkan penerapan hukum dan bukan bersifat pembentukan hukum (tasyri’). Dengan pengertian bahwa semua ijtihad para sahabat tersebut bukanlah menjadi undang-undang yang mengikat bagi kaum muslimin, kecuali kalau sudah mendapatkan ikrar (legalisasi) dari Rasulullah SAW sendiri. Ini secara tidak langsung berarti Rasululloh SAW juga menetapkan hukum syari’at, semasa beliau masih hidup.
Terjadinya ijtihad pada masa Rasul mempunyai segi-segi hikmat yang besar karena beliau merupakan petunjuk bagi sahabat-sahabatnya dan fuqaha-fuqaha yang datang sesudahnya untuk mengambil hukum-hukum dari aturan-aturan syari’at yang umum dan mengembalikan peristiwa-peristiwa kecil kepadanya, karena adanya persamaan sebab. Apalagi kalau diingat bahwa nash-nash syaria’at tidak mencakup semua hukum yang timbul. Oleh karena itu Rasul SAW berkata kepada sahabat-sahabatnya : “Aku tinggalkan untukmu dua perkara, dimana kamu tida akan sesat selama kamu berpegang dengan keduanya, yaiui kitab Tuhan dan Sunnah Nabi-Nya”
C. DASAR PENETAPAN HOKUM, SANKSI DAN METODENYA.
Periode Rasululloh SAW ini sumber-sumber dalam penetapan atau pembinaan hukum ada dua yakni wahyu dan ijtihad Rasulullah SAW sedangkan ijtihad para sahabat pada waktu itu tidak dapat dijadikan dasar yang mutlak kecuali ada pengakuan dari Rasulullah SAW sendiri.
Adapun Al-Quran sebagai sumber (dasar) pokok dalam penetapan hukum, karena berdasarkan pernyataan dalam Al-Quran itu diantaranya sebagai berikut:
Artinya : “Sesungguhnya kami Telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang Telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), Karena (membela) orang-orang yang khianat.” (Q.S. An-Nisa’ :105).
Kemudian sebagai kelajutan dari ketetapan Al-Quran surat An-Nisa’:105 tersebut Allah akan mengancam kepada manusia sebagai khilafah di bumi ini yang tidak mempergunakan Al-Quran sebagai pedoman hukum dengan sanksi sebagai berikut:
1. Kafir: vonis pidana yang diberikannya itu merugikan orang lain dan dia sendiri benci kepada keputusan hukum Al-Quran.
Sesungguhnya kami Telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.
2. zhalim : vonis pidana yang diberikannya itu menurut hawa nafsu, berakibatkan merugikan orang lain dia sendiri masih mengakui Al-Quran, tapi pada prakteknya dia tidak menjatuhkan vonis pidana terhadap Al-Quran.
Dan kami Telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.
3. Fasiq : vonis pidana yang dijatuhkannya kepada seseorang pidana tidak merugikan orang yang bersangkutan dan keputusan itu tidak berdasarkan Al-Quran. Dia secara pribadi mengakui Al-Quran.
Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil, memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah didalamnya. barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.
Adapun cara atau metode pembentukan hukum periode ini adalah berdasarkan suatu problem untuk ditentukan hukumnya. Untuk itu Rasululloh terpaksa menunggu dalam beberapa waktu menjelang wahyu dari Allah sebagai jawaban problem yang dimaksud. Tapi kalau ternyata wahyu yang diharapkan itu tidak kunjung datang, maka Rasulullah berijtihad sendiri ataupun bermusyawarah dengan para sahabat, dengan berorientasi kepada kemaslahatan umum (masyarakat).
D. HUKUM ISLAM MASA SAHABAT
Pada masa sahabat, hukum Islam mengalami perkembangan sejalan dengan semakin luasnya wilayah kekuasaan umat Islam dan seiring dengan perubahan kondisi sosial pada masa itu. Banyak sekali persoalan-persoalan baru yang muncul di kalangan umat Islam pada masa itu yang memerlukan penentuan hukum. Oleh karena itu dalam memutuskan setiap perkara, para sahabat selalu berpedoman pada al-Quran dan Hadits sebagai sumber hukum Islam pertama. Namun bila tidak dijumpai dalam al-Quran dan hadits, para sahabat menggunakan ijtihad sebagaimana yang telah diajarkan Rasulullah.
Para sahabat menggunakan akal (Ar-Ra’yu) dalam berijtihad untuk menentukan hukum. Dalam menetapkan suatu hukum, para sahabat seringkali memakai metode qiyas, istihsan, baraah ashliyah, saddudzaraai dan mashlahah mursalah. Ijtihad tidak sembarang dipakai dalam memutuskan setiap hukum. Ijtihad hanya dipakai dalam suatu keadaan tertentu yang tidak ada ketetapan hukumnya dalam al-Quran maupun Sunah dan merupakan hal yang baru.
Para sahabat sangat berhati-hati dalam menggunakan ra’yu. Kebanyakan mereka mencela ra’yu. Yang mereka cela bukanlah apa yang mereka lakukan, tetapi mereka mencela apabila mengikuti hawa nafsu dalam berfatwa tanpa bersandar pada pokok agama. Dengan demikian, pada masa sahabat ada empat sumber hukum, yaitu:
1. Al-Quran sebagai pegangan (landasan)
2. As-Sunah
3. Qiyas dan ra’yu (pendapat) sebagai cabang al-Quran dan Sunnah
4. Ijma’ yang bersandar pada al-Quran, Sunah dan qiyas.
Salah satu contoh produk sahabat dalam menggunakan ar-Ra’yu dalam berijtihad adalah masalah khilafah (pemerintahan). Masalah khilafah tidak ada ketentuannya dalam nash baik al-Quran maupun Sunnah. Oleh karena itu menurut hemat kami, pendapat sebagian kelompok yang mengatakan bahwa bentuk pemerintahan khilafah islamiyah adalah bagian dari syariat Islam adalah salah karena hal itu merupakan hasil pemikiran manusia. Bukan semata-mata dari nash al-Quran dan Sunnah. Dan para sabahat sendiri dalam berijtihad tidak pernah mengatakan bahwa hasil ijtihadnya adalah yang paling benar dan tidak pula mengharuskan orang lain untuk mengikuti pendapatnya.
Dalam berijtihad para sahabat tidak jarang berbeda antara satu dengan yang lain. Perbedaan ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya:
1. Perbedaan dalam menafsirkan ayat al-Quran karena kebanyakan al-Quran berisi ayat-ayat dhanni.
2. Perbedaan dalam memperoleh hadits karena setiap sahabat memeroleh jumlah hadits yang tidak sama dan pada masa itu hadits belum dibukukan.
3. Perbedaan dalam menggunakan metode pengambilan hukum karena pengaruh lingkungan yang berbeda.
Namun demikian perbedaan tersebut tidak menimbulkan perpecahan di kalangan para sahabat. Perbedaan itu ditanggapi dengan bijaksana. Perbedaan dianggap sebagai sesuatu yang sudah biasa (fitrah) dan rahmat bagi manusia. Hal inilah yang patut kita teladani dalam menyikapi segala perbedaan.
E. PERGOLAKAN POLITIK DAN PENGARUHNYA TERHADAP HUKUM ISLAM
Pada masa sahabat telah terjadi pergolakan politik yang berkisar penentuan khalifah. Setelah khalifah Ustman bin Affan terbunuh, naiklah Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah. Naiknya Ali ini ditentang oleh Muawiyah bin Abi Sofyan yang juga berambisi menjadi pemimpin. Maka terjadilah pertempuran di antara keduanya dan berakhir pada peristiwa tahkim. Perpecahan inilah yang menyebabkan umat Islam kala itu terbagi menjadi tiga kubu, yakni Khawarij, Syiah dan Ahlussunah wal Jama’ah.
Khawarij adalah golongan yang membenci baik itu Usman, Ali maupun Muawiyah karena ketiganya dianggap yang telah membuat umat Islam bercerai-berai. Dengan demikian golongan ini tidak mau memakai hadits yang diriwayatkan oleh ketiga sahabat ini. Mereka hanya menerima dari golongan imam mereka sendiri.
Golongan Syiah adalah kelompok yang sangat fanatic terhadap Ali dan keturunannya. Mereka beranggapan bahwa yang paling berhak menjadi khalifah adalah Ali dan keturunannya. Oleh karena itu mereka tidak mau menerima periwayatan hadits dari sahabat lainnya. Mereka hanya menerima hadits yang bersumber dari Ali dan imam-imam mereka.
Sedangkan golongan Ahlu Sunnah wal Jama’ah ialah golongan yang tidak berpihak pada Khawarij maupun Syiah. Golongan ini mau menerima periwayatan hadits dari semua sahabat asalkan memiliki kualitas hadits shahih.
Ketiga golongan inilah yang menyebabkan terjadinya perbedaan dalam mengaplikasikan hukum Islam di kalangan umat Islam sampai saat ini. Dengan demikian, dampak politik ternyata mampu mempengaruhi pelaksanaan hukum Islam dalam suatu kelompok.
BAB III
KESIMPULAN
Dari makalah ini dapat kita tarik kesimpulan:
1. Secara umum kondisi bangsa Arab pada masa Rasul dan sahabat adalah terdiri dari berbagai kabilah-kabilah dan suku. Kabilah-kabilah tersebut ada yang menetap di perkotaan dan ada pula yang hidup di pedesaan dengan mengembara. Masyarakat kota mayoritas mata pencahariannya dengan berdagang ke luar kota dan menjualnya di daerahnya. Sedangkan masyarakat desa hidup dengan berladang dan berternak hewan. Biasanya masyarakat kota lebih maju dan kuat dibandingkan pedesaan baik dari segi kekuasaan (politik), kesejahteraan, maupun peradaban.
2. Pada masa Rasulullah hukum Islam belum mengalami perkembangan yang signifikan. Sumber hukum yang menjadi titik acuan adalah al-Quran. Apabila terdapat persoalan yang tidak memiliki dasar hukum dalam al-Quran (wayu), beliau berijtihad sendiri secara langsung dan ijtihad beliau dijadikan sebagi landasan hukum bagi umat Islam pada masa itu.
3. Pengaruh-pengaruh hukum Islam yang ditinggalkan pada masa sahabat antara lain:
a. Adanya penjelasan (syarah) perundang-undangan bagi nash-nash hukum baik dalam al-Quran maupun Hadits
b. Adanya banyak fatwa-fatwa yang dikeluarkan sahabat terhadap peristiwa yang tidak ada nash hukumnya dalam al-Quran dan Hadits
c. Mulai timbulnya perpecahan berbagai golongan politik yang kemudian merembet dalam masalah keagamaan yang berpengaruh dalam perundang-undangan Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar